RenUnGan ReGan

Thursday, August 10, 2006

Nasehat Setengah Jam

Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih seperempat menit. Waktu Zuhur hampir habis, dan saat Asar sudah hampir menjelang. Elsa berjalan menyusuri peron stasiun kereta. Sinar matahari yang memancar dari sela-sela pepohonan di sekitar peron menambah hangat suasana petang itu., meskipun butiran-butiran peluh sudah mulai membasahi dahi Elsa.

Ari itu Elsa baru saja menghadiri acara reunion yang diadakan oleh sahabat-sahabatnya Sandri, Evi, Saras, Arid an Wiga. Meski mereka baru berpisah satu tahun, namun kerinduan akan riuhnya suasana tawa, keceriaan dan ikatan batin layaknya Saudara membuat mereka berenam mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Kantin kerucut yang letaknya tak jauh dari kampus Elsa menjadi tempat yang pas untuk sekedar melepas kangen. Bukan karena letaknya yang strategis di tengah-tengah taman, bukan pula karena suasananya yang unik karena disinggahi oleh beragam orang dari macam-macam ras dan etnik, pun bukan karena menu makanannya yang memang enak dan murah. Melainkan kaena mereka punya kenangan tersendiri di kantin itu semasa kuliah dulu. Setiap Sabtu, di tengah istirahat siang pergantian kuliah, mereka selalu makan di sana, berbagi canda dan melepas penat setelah berkutat dengan angka.
“Perhatian….! Dari jalur 2 Selatan, akan segera masuk KRL tujuan Jakarta Kota”
Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunan Elsa. Lamunan tentang saat-saat indah yang baru beberapa jam saja dilaluinya bersama teman-teman.
Segera ia bergegas menuju KRL yang baru masuk dan sesaat kemudian ia sudah berdiri di dalam kereta dan bersandar pada dindingnya.

Kereta berjalan perlahan, hingga akhirnya cepat. Satu stasiun dilalui, dua stasiun, 3 stasiun dan baru berhenti sebentar pada stasiun ke empat. Di stasiun ini, seorang penumpang yang duduk dekat Elsa turun dan Elsa pun akhirnya duduk di tempat itu.

“Mau kemana Nak?” tegur seorang Bapak tua yang duduk persis di samping Elsa tiba-tiba. Elsa sempat menoleh sepintas. “Ke stasiun Kota pak!” jawabnya singkat. Pak tua itu pakaiannya lusuh, kulit-kulit tangannya sudah semakin berlipat, alas kaki yang dikenakannya pun hanya sekedarnya.
Ia tersenyum ke arah Elsa. “Kalau naik kereta hati-hati ya nak!” pesannya pada Elsa. “Sekarang jaman sudah semakin gila”, ucapnya lagi. “Kemarin Bapak di stasiun Juanda melihat ada dua orang anak SMA perempuan hampir diperlakukan tidak senonoh di muka umum. Terus Bapak halau saja laki-laki bejat itu, Bapak lawan dia! Malahan Bapak ancam sekalian kalau berani-berani lagi melakukan perbuatan itu.

Ada lagi, dua mingu yang lalu Bapak naik kereta, ada ibu-ibu yang kalungnya dijambret terus dan tangannya di rampas.” Cerita Bapak itu berapi-api. “Jaman sekarang memang sudah edan kali ya, nak? Kemarin-kemarin Bapak liat TV, masak ada ayah memperkosa anak kandungnya, ada paman juga berbuat begitu sama keponakannya. Hati Bapak miris nak, melihat itu.“ ucapnya lagi.
“Dulu waktu jaman Jepang paling penderitaan fisik dan kurang makan, tapi sekarang kok moral sudah tidak ada harganya lagi, ya?” lanjutnya.

Bapak ini sudah tua, sudah delapah puluh tahun, jadi Bapak hanya mau berbuat kebaikan saja. Elsa yang sejak tadi mndengarkan hanya tersenyum dan manggut-manggut saja. Dalam hatinya berkata biasalah orang tua, pastinya ingin curhatnya didengarkan dan diperhatikan. Sama seperti ayah dan ibunya di rumah.”

“Kamu berapa usianya nak? Tanyanya pada Elsa. “Dua lima.” Jawabnya spontan. “Oh …seperti anak bungsu Bapak!” lanjutnya lagi. “Sudah punya pasangan?” tanyanya lagi. “Belum!” jawab Elsa singkat. Dalam hati, Elsa menggerutu. Ngapain sih orang ini tanya-tanya tentang pasangan. Ia paling malas jawab soal ini. Lagian tidak mungkin ia pacaran, dalam kamusnya yang ada hanya 1 kata, Nikah! Jika sudah saling mengenal, sudah saling mengetahui latar belakang masing-masing, usia sudah cukup, mampu dan punya keyakinan yang mantap langsung saja ijab kabul. Batin Elsa dalam hati.

Nak, Bapak juga punya anak seusiamu. Bapak sangat menjaga dia. Setiap ada teman laki-laki yang dating ke rumah, Bapak selalu membatasinya tidak lebih dari jam 9 malam. Pokoknya kalau sudah ada batuk “berdehem” dari Bapak, tandanya orang itu harus pulang. “Bapak tidak mau difitnah sama tetangga dan tidak mau juga kalau anak bapak tergoda oleh perbuatan syetan.” ucapnya menasehati.

“Nak, makanya kamu sebagai perempuan harus selalu menjaga diri baik-baik. Jangan tergoda oleh rayuan gombal laki-laki. Jangan mau disentuh, dipegang-pegang apalagi mengobral diri. Akai baju juga yang sopan, jangan mengundang mata lelaki. Harga diri itu mahal. Seorang perempuan Solehah yang menjaga diri, nilainya melebihi dunia dan isinya. Dunia dan seisinya tidak berarti apa-apa dibanding dengan wanita solehah. Kelak jika kamu mencari pasangan hidup, jangan lihat wajah dan hartanya, tetapi lihat ahlak, lihat ini, bapak itu menunjuk hati di dadanya. Elsa yang sejak tadi mendengarkan, hanya manggut-manggut saja, tanda menyetujui omongan Bapak tua iu.

“Oh ya…sudah sampai di mana ini?” tanyanya pada Elsa. “Hampir masuk stasiun Manggarai, pak!” jawabnya. “Oh terima kasih, sebentar lagi Bapak turun di Manggarai”. Kereta berjalan melambat dan sesaat kemudian berhenti.
“Baik nak, Bapak turun dulu, lain kali pembicaraannya dilanjut lagi. Terima kasih nak, mau mendengarkan nasehat Bapak. Assalamu’alaikum.” Ucapnya menyudahi pembicaraan.

Bapak itu turun dan tidak beberapa lama kemudian telah menghilang dibalik pintu penjagaan karcis. KRL melaju kembali melanjutkan perjalanannya ke stasiun akhir Jakarta Kota.

Elsa masih duduk di kursinya, di sampingnya telah duduk seorang ibu muda yang cantik dengan gelang dan kalung liontin hati bertengger di lehernya. Meskipun tadi ia sempat acuh tak acuh mendengarkan “wejangan-wejangan” dari Bapak tua, tapi rupanya saat ini, nasehat yang hanya diberikan setengah jam itu mulai membekas dalam hatinya. Ingin sekali Elsa membagi cerita dengan ibu muda yang duduk di sampingnya, di kursi yang sama tempat Bapak tua tadi menasehati dirinya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home