RenUnGan ReGan

Thursday, August 10, 2006

Sebuah Pilihan Hidup

Kelahiran dan kematian adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Begitu juga halnya dengan jodoh manusia. Setiap orang tidak akan dapat mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Namun demikian, bukan berarti manusia harus berpangku tangan menunggu datangnya jodoh tanpa harus berikhtiar dan berdoa. Proses ikhtiar untuk mendapatkan pendamping hidup yang baik, dalam Islam, dinamakan ta’aruf. Yakni proses mengenal lebih jauh calon pasangan hidup agar tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akhir dari proses ta’aruf inilah yang kemudian dinamakan pernikahan.

Setiap manusia bebas menentukan hidupnya, termasuk pilihan untuk menikah atau tidak menikah. Namun, kita sebagai umat Rasulullah harus mengikuti sunnahnya untuk menikah. Karena menikah akan dapat menyempurnakan agama, membuka pintu rezeki dan menjadi ladang amal bagi yang melakukannya.

"Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !
"(HR.Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).


"Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.
" (HR. Baihaqi).
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.
" (QS. An Nuur (24) : 32).

Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).


Saat ini banyak orang yang sebenarnya sudah mampu untuk menikah, namun masih menundanya dengan alasan belum bekerja, belum lulus, belum cocok dan belum mantap.

Banyak orang yang kalau ditanyakan kepada mereka tentang pernikahan, jawabannya adalah, "Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun kerja belum mapan, belum cukup siap untuk berumah tangga¨, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Yah…mudah-mudahan, paling tidak mereka bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.

Mengambil keputusan untuk menikah memang bukan perkara mudah, apalagi bagi kaum hawa. Ia harus rela dan ikhlas dirinya dipimpin oleh orang lain, yang mungkin baru dikenalnya beberapa waktu. Bagi beberapa wanita karier tertentu, menikah bahkan menjadi momok yang mengerikan. Mereka takut kariernya terhambat dan takut untuk meninggalkan aktivitasnya karena harus mengurus rumah tangga.

Menikah memang sebuah pilihan hidup, yang secara pasti akan menimbulkan beberapa resiko. Ketika menikah, seseorang harus benar-benar ikhlas dan rela berkorban bagi keluarganya. Seorang perempuan yang menikah dalam usia belia dan harus mengurus rumah tangganya sambil tetap melanjutkan studinya, tidaklah kurang pahalanya dibandingkan dengan wanita bekerja yang menikah. Mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan optimal adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai tinggi di mata Allah.

Ketika seorang perempuan yang berpendidikan tinggi, kemudian setelah menikah harus menjalani pilihan sebagai ibu rumah tangga, tidak akan berkurang kemuliaannya. Bahkan, ilmu yang didapat dari pendidikan tinggi itu akan menjadi bekal dan acuan untuk mendidik anak-anak, mengatur rumah tangga dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Dengan hadirnya seorang perempuan yang menjalani peran sebagai ibu rumah tangga secara total, maka pekerjaan dan tugas-tugas rumah akan dapat tertangani serta anak-anak bisa dididik dan diawasi secara optimal. Lagipula, ajaran Islam sendiri tidak menuntut seorang perempuan harus bekerja. Tugas mencari nafkah telah diwajibkan oleh Alah kepada para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarganya.

Namun, jaman sudah berubah. Kenyataan yang ada malah sebaliknya. Banyak para suami istri, kedua-duanya sibuk bekerja, sehingga anak menjadi terabaikan dan hanya kenal dekat dengan pengasuhnya saja. Bahkan yang membuat getir adalah makin banyaknya para istri yang bekerja di luar sedangkan suami mengurus rumah tangga di rumah.

Entahlah, …apakah memang makin banyaknya tuntutan kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi atau mungkin kehendak kaum hawa yang ingin bekerja dan mengabdikan ilmunya pada masyarakat.
Atau….mungkin saja masih adanya rasa kurang “nrimo” dan keikhlasan hati dari para istri atas pendapatan suaminya.

Semua itu adalah pilihan hidup yang harus dijalani secara rela dan ikhlas hati.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home