RenUnGan ReGan

Thursday, August 10, 2006

Tetaplah Menjadi Pribadi Yang Bersahaja

Aku mengenal laki-laki itu sejak tiga tahun lalu. Saat pertama kalinya menjejakkan langkah di sudut lantai empat kantor ini. Laki-laki itu kulitnya sawo matang agak kecoklatan. Postur tubuhnya ideal, dengan perawakan badan yang kuat dan tegap, menandakan ia seseorang yang gemar berolahraga. Gerak geriknya gesit dan selalu ringan tangan. Usianya hampir menjelang 30 tahun meski rambutnya nyaris telah berkurang sedikit. Mungkin karena kebiasaan banyak berpikir keras dalam bidang keilmuannya. Dari catatan struktur organisasi kantorku, sejak lima tahun ini karirnya terus menanjak, sedangkan banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam lima tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh bigboss kami dan kemudian menjadi tangan kanannya.

Bagiku, laki-laki yang kukenal itu adalah seseorang dengan kepribadian yang unik. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat negara hingga office boy kantor kami- tanpa harus kehilangan wibawa.
Makan gorengan dari kantong plastik yang sama dengan anak buahnya menjadi hal biasa dalam kesehariannya. Tak pernah menjadi masalah baginya untuk minta ijin mengambil makanan yang dibawa oleh anak buahnya di meja. ”Minta kuenya ya!”, atau minta gorengannya ya!” sambil kemudian mencomotnya. Tidak masalah pula bagi diri laki-laki itu ketika para staf meminta dibelikan pisang coklat, pizza atau makanan lainnya. Beberapa lembar rupiah pun dengan ringan keluar dari koceknya.


Laki-laki itu, tidak memiliki ruang kerja. Ia bekerja satu ruangan dengan kami, para stafnya. Meja kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah meja, kursi, bahkan komputernya adalah sesuatu hal istimewa yang tak boleh dijamah oleh siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan dan jenjang yang jauh darinya sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan.

Dari cerita rekan-rekan kerjaku yang telah enam tahun bersamanya, sedikit akan kuceritakan mengenai keluarganya. Ia adalah sulung dari dua bersaudara. Kedua orang tuanya telah dipanggil Sang Khalik sejak ia masih di bangku SMP. Semenjak itu ia tinggal bersama paman dan bibinya. Kenyataan hidup itulah yang membentuk dirinya menjadi seorang pekerja keras, ulet, sederhana dan ringan tangan membantu orang lain. Kebiasaannya menimba air dari sumur serta membantu pekerjaan paman dan bibinya telah menjadi olahraga rutin setiap paginya, hingga tubuhnya menjadi kekar.

Berbincang dan bercanda dengan laki-laki itu bukan sekali dua kali saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya, saat ia belum menjadi atasanku, hingga saat ini ia telah menjadi pimpinan utama di lembaga kami. Bicaranya selalu penuh pemikiran, analisisnya tajam dan selalu tampak smart. Meskipun demkian ia juga pernah merasa bosan, jenuh dan menceritakan semua itu pada kami para staf kerjanya.

Awal tahun ini ia dilantik menjadi pimpinan tertinggi di lembaga tempatku bekerja. Syukur dan selamat tak lupa terlantun dari bibir ini. Setelah hampir enam bulan ini ia memimpin kantor, sifat kebersahajaannya masih tetap seperti dahulu. Masih makan gorengan dengan para staf dari bungkus yang sama. Masih sering bercanda dan curhat bersama rekan-rekan kerja.
Tentu saja, dengan jabatanmu yang sekarang, yang lebih utama adalah perkembangan kinerja kantor kita. Dan untuk kemajuan itu, pastilah engkau akan semakin sibuk dan sulit untuk membuang waktu. Tapi, kalau boleh kuminta satu hal saja: Tetaplah Engkau bersahaja seperti biasa! Kami membutuhkan pemimpin seperti itu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home