RenUnGan ReGan

Thursday, August 10, 2006

Sebuah Dilema

Sudah hampir tiga tahun ini diriku mengalami perubahan. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi padaku. Apakah karena gaya hidupku yang tidak terlalu dekat dengan yang di atas, teman sepergaulanku yang sebagian besar laki-laki atau karena lingkungan keluarga yang terlalu cuek padaku.

Kisah ini benar-benar terjadi padaku. Aku adalah seorang anak laki-laki, bungsu dari tiga bersaudara. Usiaku menjelang kepala 4, namun saat ini aku belum juga berumah tangga. Aku tinggal jauh dari keluargaku juga kakak-kakakku. Di Jakarta, aku kos di wilayah yang cukup bergengsi di tengah kota.

Kalau dilihat dari latar belakang pendidikan, aku bukanlah orang yang bodoh. Aku bersyukur karena bisa melanjutkan pasca sarjana di sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jakarta. Aku juga bukan orang yang kekurangan, karena gajiku sebagai konsultan di tingkat Middle Management masih bisa mencukupi kebutuhanku selama satu bulan. Hanya saja tiga tahun belakangan ini ada perasaan aneh yang hinggap dalam diriku. Aku merasa nyaman dan sangat senang jika berdekatan dengan sesama laki-laki. Aku begitu menikmatinya ketika sedang mengobrol di kafe bersama rekan-rekanku selepas jam kantor.

Sebenarnya aku adalah laki-laki normal, dahulu waktu aku SMP, aku pernah merasakan jatuh cinta pada gadis teman sekelasku. Tapi karena keluargaku orang tak mampu dan sifatku yang agak tertutup, maka kukubur dalam-dalam rasa itu.
Selepas kuliah, aku juga pernah tertarik dengan seorang wanita cantik. Ia tetanggaku di lingkungan kos. Namun karena ia seorang wanita karier yang sangat padat aktivitasnya, aku jadi malas mendekatinya. Lagi-lagi kupendam juga rasa itu.

Bertahun-tahun aku coba menyibukkan diri dengan bekerja. Hingga suatu ketika aku merasa kesepian, aku rindu belaian kasih sayang, aku tidak dapat hidup sendiri. Bersama teman-teman gaulku yang semuanya laki-laki itulah, aku menemukan ketenangan, rasa aman dan kedamaian. Tapi aku tidak menceritakan masalah ini pada mereka. Karena jika aku menceritakan tentang hal ini sudah pasti aku akan diejek habis-habisan, ditertawakan, bahkan sudah pasti aku akan dicap sebagai gay.

Masalahku menjadi lebih rumit lagi ketika aku berkenalan dengan seseorang yang bernama Hasan.

Sore itu gerimis rintik-rintik. Aku sedang duduk seorang diri di halte bus. Kebetulan karena penyakit migrainku kambuh, jadi aku minta izin pada atasan untuk pulang lebih siang, jam 15.00. Tiba-tiba di halte tempatku duduk, berhenti sebuah sepeda motor biru metalik. Si pengendara turun dan kemudian mengambil jas hujan dari balik jok motornya. Aku memperhatikan orang itu. Rupanya jok motor dan sebagaian lengannya sudah separuh basah kena air hujan. Ia terlihat kesulitan menghalau butiran-butiran bening air yang membasahi kacamatanya. Orang itu mengelap kacamata dengan bajunya. Aku segera bangkit dari duduk, kusodorkan sebungkus tissu kepadanya. Singkat cerita, akhirnya kami berkenalan. Dari situlah aku mengenal laki-laki yang bernama Hasan itu.

Dua hari kemudian, secara kebetulan kami betemu lagi di halte yang sama. Kali ini ia menawarkan dirinya untuk mengantar ke tempat kosku yang ternyata letaknya tidak jauh dari rumah Hasan. Di sepanjang perjalanan, ia banyak bercerita. Ia adalah ayah dari dua anak laki yang berusia 6 tahun dan 2 tahun. Dari ceritanya juga, akhirnya aku tahu bahwa ia adalah seorang aktivis partai politik. Setelah mengantar ke kos, ia memberikan kartu namanya dan mengundang diriku untuk main ke rumahnya.

Seminggu kemudian, aku bertandang ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya, istrinya dan anak-anaknya. Hari-hari berikutnya, setiap ada acara-acara di rumah Hasan, aku selalu diundang. Bahkan, keluarga Hasan sudah menganggap diriku seperti keluarganya. Anaknya yang sulung pun memanggilku dengan sebutan Pak De.

Aku semakin dekat dengan Hasan. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Karena kedekatanku dengan Hasan sudah teramat akrab, akhirnya kuberanikan diri mengatakan keadaan diriku yang sebenarnya. Anehnya, Hasan sama sekali tidak kaget, ia malah menanggapinya santai. Ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama kepadaku. Justru saat itu, akulah yang dibuatnya kaget luar biasa.

Hasan akhirnya bercerita padaku bahwa ia menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya, sebenarnya ia tidak mencintai istrinya. Ia takut dan malu mengungkapkan pada ayah dan ibunya bahwa ia adalah Gay. Kehidupan rumah tangga yang sedang dijalaninya saat ini, tidak lebih dari sekedar sandiwara yang telah dilakoninya selama lima tahun. Hasan tidak tega menceritakan masalahnya pada istrinya terlebih lagi pada anak-anaknya yang tentu belum mengerti.

“Astaga !”……batinku dalam hati. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang jelas, saat ini aku semakin dekat dengan keluarga Hasan. Bahkan aku sering diundang untuk menginap di rumahnya sambil mengajari putranya Hasan pelajaran-pelajaran SD.

Saat ini aku berada dalam dilema besar. Apakah aku harus menjalani hidupku seperti yang sekarang ini atau aku harus melepaskan dunia abu-abu yang membuatku semakin jauh dariNya.
Ya Allah, tolonglah aku, aku tidak berdaya, aku lemah………

0 Comments:

Post a Comment

<< Home