RenUnGan ReGan

Sunday, March 04, 2007

Pelajaran Untuk Sebuah Ketidakikhlasan

Kepada Sahabatku, terima kasih telah memberikan sebuah pelajaran berharga

Baru jumat minggu lalu aku pulang sejenak ke rumah orangtuaku di Jakarta, setelah lima hari aku tinggal di kosan. Kehidupanku sebagai seorang mahasiswa yang juga merangkap sebagai pekerja part timer menuntut aku untuk hidup dengan menyewa sebuah kamar bersama dengan temanku.

Sore ini, aku baru saja pulang dari tempat kerjaku. Pukul lima lebih empat puluh lima menit kutengok jarum jam yang berdetak perlahan di tangan kiriku. Masih sekitar lima belas menit lagi menjelang adzan maghrib untuk segera membatalkan puasa sunahku di hari pertama awal minggu ini. Aku buru-buru bergegas memasuki kosan untuk segera mempersiapkan buka puasa. Namun saat aku masuk ke kamar kosanku aku sangat kaget. Galon air mineral yang kubeli jumat minggu lalu, yang kupersiapkan untuk berbuka sore itu sudah tandas isinya. Padahal baru aku beli tiga hari yang lalu. Akhirnya kuputuskan untuk meminta segelas air putih ke ibu kos untuk buka puasa.


Jarum jam menunjukkan pukul 21.14 kulihat dilayar hp kecilku itu. Sudah cukup malam batinku dalam hati. Namun suasana lalu lintas di kota ini masih tetap saja ramai seiring dengan ramainya para developer kelas kakap berlomba-lomba membangun pusat perbelanjaan di kota yang terkenal dengan kemacetannya ini.

Baru segelas air putih dan sepotong roti tawar berbalut meisies yang masuk ke dalam tenggorokanku ini semenjak lepas maghrib tadi, karena setelah itu aku segera bergegas pergi ke kampus untuk ujian, dan baru pulang malam ini. Sambil berjalan pulang, kusempatkan mampir di warung nasi goreng untuk melepaskan rasa laparku.

Aku memasuki kamar kosku. Sepi…pertanda bahwa my roommates belum pulang. Aku tidak tau ia pergi kemana karena sejak sore tadi aku memang belum bertemu dengannya.
Segera ku tunaikan Isya-ku dan setelah itu aku sudah tidak ingat lagi karena terbuai dalam tidurku.


Aku terjaga!!! kulirik angka jam yang ada di layar ponselku, 03.40. Bergegas aku bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Kusegerakan Qiyamullail karena sebentar lagi waktu subuh menjelang. Aku juga sempat melirik my roommates yang kelihatannya terlelap sekali tidurnya. Menjelang pukul lima lebih seperempat, ku goyangkan perlahan-lahan tubuh tinggi besarnya itu untuk shalat Subuh, namun ia tak juga bangkit, hanya geliatnya saja yang tampak ke kanan dan ke kiri. Setengah jam kemudian barulah ia benar-benar bangun untuk shalat subuh dan selanjutnya kembali ke peraduannya lagi.

Hari ini, aku berangkat lebih awal dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini dengan segera. Pagi itu aku memang haus sekali karena sejak tadi malam aku hanya minum sedikit. Setelah kuingat-ingat ternyata sejak kemarin petang aku hanya minum 3 gelas. “Wah dehidrasi deh” ucapku lirih sambil memandangi galon air mineral yang telah kosong isinya sejak kemarin.

Sepanjang perjalanan ke tempat kerja aku berpikir, kemana sajakah air sebanyak itu yang aku beli jumat minggu lalu dengan uangku sendiri bukan patungan dengan my roommates. Aku memang tidak pernah melarangnya untuk minum air itu, namun paling tidak ia harus menyadari bahwa air itu bukan sepenuhnya milik dia – yang sama sekali tidak ikut andil dalam pembelian-- Mestinya ia minta izin dulu kepadaku melalui sms kalau ingin meggunakannya lebih banyak. Bukan meninggalkan botol dalam keadaan kosong dan merasa tak bertanggung jawab kepadaku, batinku dalam hati.


Tak terasa ternyata aku telah sampai di kantor. Bergegas aku pergi ke pantry untuk mengambil air dan minum sepuasnya. Aktivitasku hari ini lumayan padat, namun menjelang sore aku dapat menyelesaikannya dan kembali dari kantor dengan hati yang lega.

Sampai di ujung gang dekat kos kusempatkan memesan galor air mineral untuk minumku beberapa hari mendatang. Aku tidak memikirkan temanku lagi. Bahkan sempat terbersit dalam hati ini akan menolak mentah-mentah dengan sebuah kata TIDAK!!!!!! Untuk permintaan segelas air putih dari my roomates. Astaghfirullah………….
Namun bagaimana lagi…? kekesalanku sudah membuncah dan sepertinya temanku yang satu ini memang harus benar-benar diberi pelajaran.

***
Lima belas menit telah berlalu dari mata kuliah terakhirku. Dosen telah bersiap-siap mengakhiri kuliah dan para mahasiswa pun bergegas untuk pulang.
Akhirnya malam itu aku tiba juga di kosan cukup awal dari biasanya. Ketika aku menjejakkan kaki di kamar terasa oleh ku sebuah genangan air dalam kamar. Segera kunyalakan lampu dan kulihat ternyata galon air mineral yang kubeli tadi sore bocor dan membasahi seluruh barang-barang yang tergeletak dekat dengan sumber air tersebut. Pun karpet serta kasur yang kusandarkan tak jauh dari galon itu. Dan otomatis aku pun tak bisa tidur untuk malam itu. Termasuk juga komputer dan hardisk yang nyata-nyata memang aku letakkan tak jauh dari sana.

Aku sadari bahwa aku membeli air dengan tidak ikhlas. Selain itu aku juga telah mempunyai pikiran yang macam-macam terhadap kawanku. Sungguh, ternyata ketidakikhlasanku harus dibeli mahal dengan materi, kekecewaan, dan kesabaran yang benar-benar tinggi.

*****
Waktu berjalan cepat di sepertiga malam ini, kutumpahkan segala keluh kesah dan keganjalan dalam hati di hadapanMu Ya Rabb Sang Maha Pengasih, yang mengatur segala sesuatu kejadian. Semua ini terjadi pasti atas KehendakMu. Tiada luput satu helai daun yang jatuh pun pasti atas Kehendak-Mu. Ya Allah aku mohon ampun atas ketidakihlasanku menjalani ini semua. Tersungkur aku bersujud memohon beribu-ribu ampun pada-Mu Ya Allah.


Tahajud, mengantarku menjadi seorang penulis

Kutelusuri deretan nama-nama peserta seleksi CPNS di sebuah situs Lembaga Negara ternama pagi ini. Dari atas hingga bawah, a sampai z, tak lepas pandanganku dari program komputer berformat .PDF itu.
Nihil…..
Tak ada….
Seleksi kedua ini aku tak lulus, gagal…

Lemas………. lunglai rasanya lutut ini. Padahal kesempatan untuk menjadi PNS sangat kutunggu-tunggu dan inilah saatnya aku membuktikan pada orang tua, pada teman-temanku dan kepada diriku sendiri bahwa aku mampu!!! Aku bukanlah seperti apa yang mereka pikirkan selama ini, aku ingin menunjukkan pada mereka.
Aku bisa !!!
Tapi ternyata harapanku pupus di tengah jalan, aku kembali hidup sebagaimana biasanya menjalani rutinitas harian.

***
Kurenungi semua kejadian hari ini dalam tahujudku. Kejadian tadi pagi, dimana namaku tak tertera dalam daftar, peristiwa siang tadi yang membuat diri ini semakin merasa kerdil dan tak berarti di hadapan teman-temanku dan kegundahan sore tadi yang semakin menumpuk tebalnya kabut kekecewaan dalam hati ini.
Untunglah malam menjelang tidur, pukul 21:19, sempat aku terima sms dari sahabatku Maman. Sebuah sms jawaban atas curhatan kegundahan hati ini sekaligus penghibur dan penyemangat jiwa.

“Tenang aja… belum rejekimu Rian, ada hikmahnya kok Ri nanti dikasih yg terbaik oleh 4JJI SWT. Tetap semangat ya Ri. Thanx infonya ya.”

sms yang cukup singkat sih, memang…
Di hp-ku hanya muncul tampilan 1 layar. Padat, namun cukup dalam maknanya.

“Makasih Man”, ucapku lirih sambil menutup inbox.

Memang benar, jika kuhayati dan kurenungi kata-kata dari sahabatku, aku merasa bahwa itu memang bukan rejekiku. Kucoba mencari 1001 alasan, dugaan dan sangkaan yang baik untuk menenangkan kegundahan hatiku.
Mungkin saja pekerjaan itu lebih cocok untuk CPNS yang sudah berkeluarga yang memang benar-benar membutuhkan pekerjaan, yang jikalau mereka gagal maka keluarganya akan mendapatkan kesulitan hidup karena tak ada yang menafkahi.

Mungkin saja pekerjaan itu tidak cocok untuk diriku, sifatku atau kemampuanku bahkan pengalamanku yang seumur jagung ini.
Mungkin saja Allah masih menjaga serta melindungi diri ini, takut-takut nantinya terjerumus pada lembah kehinaan karena sebuah jabatan.
Atau mungkin jabatan itu memang telah dipesan oleh oknum-oknum yang berkolusi dengan segelintir pajabat tertentu ??? “Ah…segera kutepis jauh-jauh sangkaan itu, Astaghfirullah al ‘adzim..” Kembali aku tenggelam dalam tafakurku.

Hari demi hari kulalui, minggu demi minggu kulalui, tak pernah lepas dan tak pernah kulewati tanpa pertemuan dengan-Nya di 1/3 malam terakhir.
Malam ini, dalam sujud terakhirku ketika aku menumpahkan segala kegundahanku dan berpasrah diri padaNya, tiba-tiba terbersit suatu keinginan untuk mencurahkan setiap curhatku di atas kertas. Semua kedukaanku, semua kebahagiaanku kutuangkan dalam tulisan.

Hingga suatu ketika sebuah situs internet membuka kesempatan bagi penulis pemula untuk ikut serta dalam lomba penulisan lepas bertemakan Islam. Iseng-iseng kukirimkan 1 folder hasil tulisanku yang kukemas dalam format winzip melalui email ku. Aku tidak tahu tulisan terbaik manakah yang akan dimuat dalam situs tersebut. Harapanku, meski hanya 1 tulisan aku sudah sangat beryukur. Tidak lebih dari itu…

Jumat, akhir Maret 2006 hp-ku berdering. Nomor yang tak kukenal……namun tetap aku angkat.
Dibalik suaranya terdengar ucapan salam yang mantap dari ujung telepon menanyakan nama dan sedikit identitasku. Orang tersebut memberitahukan padaku bahwa ternyata 10 tulisan yang ada dalam folderku terpilih sebagai tulisan yang cukup menarik untuk dimasukkan dalam sebuah buku bersama dengan tulisan-tulisan dari 4 pemenang yang lainnya. Orang tersebut juga menyebutkan alamat perusahaannya dan memintaku untuk datang ke kantornya pada hari Senin minggu berikutnya.

Setelah pembicaraanku bersama orang di ujung telepon itu selesai, aku hanya diam terpaku. “Alhamdulillah…” batinku dalam hati. Inikah jawaban semua curhatku padaNya di 1/3 malam terakhir. Jikalau benar, aku sangat bersyukur sekali, terima kasih Ya Allah…
Melalui tahajud dan “pertemuan” denganMu aku jadi sadar dan yakin bahwa aku memiliki bakat yang harus kugali lagi yakni bakat menulis.
Terima kasih Ya Rabb, aku ingin selalu belajar dan mengasah kemampuanku ini.
Ya Allah, ternyata Engkau memudahkan jalan rizki bagiku dari arah yang tiada kuduga.


Hai orang-orang beriman, minta tolonglah kamu (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. 2:153)


Glossary:

.PDF : Portable Document Format adalah sebuah
program komputer yang berisi tulisan
atau arsip tertentu. Tampilannya pada layar
komputer dapat dengan mudah dibaca, di
download, ataupun dicetak melalui printer.
Program ini sangat orisinil, baik tulisan
maupun gambar-gambar yang ada di
dalamnya, sehingga sulit untuk mengubahnya.
CPNS : Calon Pegawai Negeri Sipil
Curhat : Curahan hati
sms : Short message service atau layanan pesan
pendek, tersedia pada setiap handphone
hp : Handphone
Inbox : Kumpulan sms yang masuk ke handphone
Tahajud: Shalat di malam hari, biasanya dilakukan di 1/3
malam terakhir setelah bangun dari tidur
Folder :Kumpulan berkas/arsip yang ada dalam
komputer
Rabb : Tuhan
Winzip : Folder yang memori dalam Kilobyte-nya telah
diperkecil, untuk memudahkan pengiriman
dokumen melalui email secara efisien.

Thursday, August 10, 2006

Kisah Sang Kondektur Wanita

Ayo….ayo …. Ancol, Sunter Podomoro, Priok….
Ancol, Sunter Podomoro, Priok….
Tunggu….!!! Tunggu….!!!
Ada sewa ! ayo…ayo naik….tarik !
Begitulah, kondektur wanita itu berteriak lantang menawarkan busnya. Tak kenal lelah, panas, hujan, terik, semuanya dilaluinya tanpa merasa terbebani.

Profesi wanita itu hanya sebagai kondektur. Tidak ada yang istimewa dengan dirinya, pakaiannya, gayanya ataupun suaranya yang melengking di tengah deru kendaraan. Yang membuat Anna tertarik untuk memperhatikannya adalah semata-mata karena ia seorang wanita yang bekerja sebagai kondektur. Sebuah profesi yang masih sedikit langka dan sulit dilakukan oleh kaum hawa.

Entah mengapa Anna begitu tertarik memperhatikan gerak-geriknya. Lincah, gesit, spontan dan sangat percaya diri

Bus berjalan perlahan meninggalkan terminal. Di tengah jalan, tidak seberapa jauh dari pusat perbelanjaan besar, bus berhenti. Kami para penumpang biasa menyebutnya dengan istilah “ngetem” yakni berhenti cukup lama untuk mencari penumpang. Tidak beberapa lama setelah penumpang memenuhi bangku-bangku kosong, bus mulai berjalan perlahan, perlahan, perlahan hingga akhirnya bergerak menjauh. Dengan mantap, sang supir pun menginjak pedal gas dalam-dalam. Tak terasa bus sudah berjalan jauh, tanpa komando dari kondektur.
Hingga suatu ketika penumpang yang duduk di kursi belakang berteriak “Pir, kondekturnya ketinggalan, tuh! Kasihan!! Lumayan jauh.”
Kami, penumpang yang ada di dalam bus, semua tertawa geli mendengar ucapan itu.
Supir buru-buru menghentikan bus, menepi dan menunggu kondektur wanita yang ketinggalan. Cukup lama bus menunggu, kira-kira hampir sepuluh menit-an.

Tiba-tiba dari arah belakang bus, sebuah bajaj meluncur kencang dan berhenti persis di depan bus. Dari dalam Bajaj keluarlah sang wanita yang menjadi kondektur tadi, dengan wajah panik dan ketakutan. Ia segera menghampiri supir bus dan menangis sejadi-jadinya. Sambil mennguncang-guncangkan tubuh sang supir.
“Kamu jahat, jahat sekali! Tinggalin begitu aja!
Tau nggak, saya takut, saya panik waktu tahu bus sudah nggak ada. Padahal saya kan lagi bantu nyeberangin penumpang. Apa kamu nggak lihat, gimana sih kamu jadi supir nggak peduli amat?” Kalimat-kalimat itu terus meluncur dari bibir tipis si wanita.
Sudahlah,ma….! Maafkan saya, saya nggak lihat kalau kamu ada di seberang. Ya udah nggak usah nangis, malu dilihat orang.” ujar sang supir.

Dari dialog mereka, Anna dan penumpang lain baru mengetahui bahwa ternyata supir dan kondektur itu adalah pasangan suami istri.
Seorang penumpang yang duduk paling depan dekat supir segera menjadi penengah pertengkaran tersebut.

“Sudah-sudah tidak usah diperpanjang, maafkan saja Bapak, dia mungkin khilaf tidak melihat.” lerai bapak itu pada si kondektur wanita. “Ibu juga nggak usah dendam, sama-sama cari uang sama-sama kerja untuk anak, pasti ada susah senangnya.”
“Pak supir juga harus peduli sama istri jangan cuek, harus lihat keadaan sekitar, jangan main tancap gas aja!” ujar si bapak tadi menasehati supir.
Akhirnya pertengkaran pun berakhir, mereka saling bersalaman dan berpelukan.
Kami semua para penumpang segera bertepuk tangan dan terharu melihat sikap mereka.

Dalam hati Anna merasa bahwa mereka benar-benar pasangan yang cukup kompak, bahu membahu dalam mencari nafkah untuk keluarga dan mudah memaafkan satu sama lain, mau mengerti keadaan masing-masing dan tidak pantang menyerah.

Satu lagi pelajaran hidup yang bisa dipetik oleh Anna sebagai calon ibu muda adalah bahwa siapa pun dirinya, kelak jika ia telah menikah nanti ia harus bisa bersikap tenggang rasa, tolong menolong dan saling memahami dalam setiap situasi apa pun. Jangan pernah sombong, egois dan merasa lebih tinggi dari pasangannya. Segala upaya untuk menafkahi keluarga harus dilakukan dengan kerja keras, pantang menyerah, disiplin dan ikhlas. Itu kunci utamanya., bisik Anna dalam hati.

Ia sangat salut kepada pasangan supir dan kondektur tadi, karena meskipun kehidupan mereka, kemungkinan sering diwarnai dengan pertengkaran-pertengakaran kecil, namun hal itu tidak mengurangi rasa kompak mereka sebagai pasangan suami istri. Justru pertengkaran kecil itulah yang menjadi bumbu-bumbu manis dalam menciptakan bangunan rumah tangga.
Dengan itu, masing-masing pasangan akan lebih memahami karakter, kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga di masa mendatang mereka bisa lebih memperbaiki diri. Membuat diri lebih siap menghadapi masalah-masalah kehidupan yang serius, mendidik anak-anak yang berbakti pada orang tua dan menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Ibarat pepatah, rumah tangga yang datar-datar saja dan tidak diwarnai dengan sedikit pertengkaran-pertengkaran kecil layaknya sayur tanpa garam.

Nasehat Setengah Jam

Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih seperempat menit. Waktu Zuhur hampir habis, dan saat Asar sudah hampir menjelang. Elsa berjalan menyusuri peron stasiun kereta. Sinar matahari yang memancar dari sela-sela pepohonan di sekitar peron menambah hangat suasana petang itu., meskipun butiran-butiran peluh sudah mulai membasahi dahi Elsa.

Ari itu Elsa baru saja menghadiri acara reunion yang diadakan oleh sahabat-sahabatnya Sandri, Evi, Saras, Arid an Wiga. Meski mereka baru berpisah satu tahun, namun kerinduan akan riuhnya suasana tawa, keceriaan dan ikatan batin layaknya Saudara membuat mereka berenam mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Kantin kerucut yang letaknya tak jauh dari kampus Elsa menjadi tempat yang pas untuk sekedar melepas kangen. Bukan karena letaknya yang strategis di tengah-tengah taman, bukan pula karena suasananya yang unik karena disinggahi oleh beragam orang dari macam-macam ras dan etnik, pun bukan karena menu makanannya yang memang enak dan murah. Melainkan kaena mereka punya kenangan tersendiri di kantin itu semasa kuliah dulu. Setiap Sabtu, di tengah istirahat siang pergantian kuliah, mereka selalu makan di sana, berbagi canda dan melepas penat setelah berkutat dengan angka.
“Perhatian….! Dari jalur 2 Selatan, akan segera masuk KRL tujuan Jakarta Kota”
Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunan Elsa. Lamunan tentang saat-saat indah yang baru beberapa jam saja dilaluinya bersama teman-teman.
Segera ia bergegas menuju KRL yang baru masuk dan sesaat kemudian ia sudah berdiri di dalam kereta dan bersandar pada dindingnya.

Kereta berjalan perlahan, hingga akhirnya cepat. Satu stasiun dilalui, dua stasiun, 3 stasiun dan baru berhenti sebentar pada stasiun ke empat. Di stasiun ini, seorang penumpang yang duduk dekat Elsa turun dan Elsa pun akhirnya duduk di tempat itu.

“Mau kemana Nak?” tegur seorang Bapak tua yang duduk persis di samping Elsa tiba-tiba. Elsa sempat menoleh sepintas. “Ke stasiun Kota pak!” jawabnya singkat. Pak tua itu pakaiannya lusuh, kulit-kulit tangannya sudah semakin berlipat, alas kaki yang dikenakannya pun hanya sekedarnya.
Ia tersenyum ke arah Elsa. “Kalau naik kereta hati-hati ya nak!” pesannya pada Elsa. “Sekarang jaman sudah semakin gila”, ucapnya lagi. “Kemarin Bapak di stasiun Juanda melihat ada dua orang anak SMA perempuan hampir diperlakukan tidak senonoh di muka umum. Terus Bapak halau saja laki-laki bejat itu, Bapak lawan dia! Malahan Bapak ancam sekalian kalau berani-berani lagi melakukan perbuatan itu.

Ada lagi, dua mingu yang lalu Bapak naik kereta, ada ibu-ibu yang kalungnya dijambret terus dan tangannya di rampas.” Cerita Bapak itu berapi-api. “Jaman sekarang memang sudah edan kali ya, nak? Kemarin-kemarin Bapak liat TV, masak ada ayah memperkosa anak kandungnya, ada paman juga berbuat begitu sama keponakannya. Hati Bapak miris nak, melihat itu.“ ucapnya lagi.
“Dulu waktu jaman Jepang paling penderitaan fisik dan kurang makan, tapi sekarang kok moral sudah tidak ada harganya lagi, ya?” lanjutnya.

Bapak ini sudah tua, sudah delapah puluh tahun, jadi Bapak hanya mau berbuat kebaikan saja. Elsa yang sejak tadi mndengarkan hanya tersenyum dan manggut-manggut saja. Dalam hatinya berkata biasalah orang tua, pastinya ingin curhatnya didengarkan dan diperhatikan. Sama seperti ayah dan ibunya di rumah.”

“Kamu berapa usianya nak? Tanyanya pada Elsa. “Dua lima.” Jawabnya spontan. “Oh …seperti anak bungsu Bapak!” lanjutnya lagi. “Sudah punya pasangan?” tanyanya lagi. “Belum!” jawab Elsa singkat. Dalam hati, Elsa menggerutu. Ngapain sih orang ini tanya-tanya tentang pasangan. Ia paling malas jawab soal ini. Lagian tidak mungkin ia pacaran, dalam kamusnya yang ada hanya 1 kata, Nikah! Jika sudah saling mengenal, sudah saling mengetahui latar belakang masing-masing, usia sudah cukup, mampu dan punya keyakinan yang mantap langsung saja ijab kabul. Batin Elsa dalam hati.

Nak, Bapak juga punya anak seusiamu. Bapak sangat menjaga dia. Setiap ada teman laki-laki yang dating ke rumah, Bapak selalu membatasinya tidak lebih dari jam 9 malam. Pokoknya kalau sudah ada batuk “berdehem” dari Bapak, tandanya orang itu harus pulang. “Bapak tidak mau difitnah sama tetangga dan tidak mau juga kalau anak bapak tergoda oleh perbuatan syetan.” ucapnya menasehati.

“Nak, makanya kamu sebagai perempuan harus selalu menjaga diri baik-baik. Jangan tergoda oleh rayuan gombal laki-laki. Jangan mau disentuh, dipegang-pegang apalagi mengobral diri. Akai baju juga yang sopan, jangan mengundang mata lelaki. Harga diri itu mahal. Seorang perempuan Solehah yang menjaga diri, nilainya melebihi dunia dan isinya. Dunia dan seisinya tidak berarti apa-apa dibanding dengan wanita solehah. Kelak jika kamu mencari pasangan hidup, jangan lihat wajah dan hartanya, tetapi lihat ahlak, lihat ini, bapak itu menunjuk hati di dadanya. Elsa yang sejak tadi mendengarkan, hanya manggut-manggut saja, tanda menyetujui omongan Bapak tua iu.

“Oh ya…sudah sampai di mana ini?” tanyanya pada Elsa. “Hampir masuk stasiun Manggarai, pak!” jawabnya. “Oh terima kasih, sebentar lagi Bapak turun di Manggarai”. Kereta berjalan melambat dan sesaat kemudian berhenti.
“Baik nak, Bapak turun dulu, lain kali pembicaraannya dilanjut lagi. Terima kasih nak, mau mendengarkan nasehat Bapak. Assalamu’alaikum.” Ucapnya menyudahi pembicaraan.

Bapak itu turun dan tidak beberapa lama kemudian telah menghilang dibalik pintu penjagaan karcis. KRL melaju kembali melanjutkan perjalanannya ke stasiun akhir Jakarta Kota.

Elsa masih duduk di kursinya, di sampingnya telah duduk seorang ibu muda yang cantik dengan gelang dan kalung liontin hati bertengger di lehernya. Meskipun tadi ia sempat acuh tak acuh mendengarkan “wejangan-wejangan” dari Bapak tua, tapi rupanya saat ini, nasehat yang hanya diberikan setengah jam itu mulai membekas dalam hatinya. Ingin sekali Elsa membagi cerita dengan ibu muda yang duduk di sampingnya, di kursi yang sama tempat Bapak tua tadi menasehati dirinya.

Sebuah Dilema

Sudah hampir tiga tahun ini diriku mengalami perubahan. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi padaku. Apakah karena gaya hidupku yang tidak terlalu dekat dengan yang di atas, teman sepergaulanku yang sebagian besar laki-laki atau karena lingkungan keluarga yang terlalu cuek padaku.

Kisah ini benar-benar terjadi padaku. Aku adalah seorang anak laki-laki, bungsu dari tiga bersaudara. Usiaku menjelang kepala 4, namun saat ini aku belum juga berumah tangga. Aku tinggal jauh dari keluargaku juga kakak-kakakku. Di Jakarta, aku kos di wilayah yang cukup bergengsi di tengah kota.

Kalau dilihat dari latar belakang pendidikan, aku bukanlah orang yang bodoh. Aku bersyukur karena bisa melanjutkan pasca sarjana di sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jakarta. Aku juga bukan orang yang kekurangan, karena gajiku sebagai konsultan di tingkat Middle Management masih bisa mencukupi kebutuhanku selama satu bulan. Hanya saja tiga tahun belakangan ini ada perasaan aneh yang hinggap dalam diriku. Aku merasa nyaman dan sangat senang jika berdekatan dengan sesama laki-laki. Aku begitu menikmatinya ketika sedang mengobrol di kafe bersama rekan-rekanku selepas jam kantor.

Sebenarnya aku adalah laki-laki normal, dahulu waktu aku SMP, aku pernah merasakan jatuh cinta pada gadis teman sekelasku. Tapi karena keluargaku orang tak mampu dan sifatku yang agak tertutup, maka kukubur dalam-dalam rasa itu.
Selepas kuliah, aku juga pernah tertarik dengan seorang wanita cantik. Ia tetanggaku di lingkungan kos. Namun karena ia seorang wanita karier yang sangat padat aktivitasnya, aku jadi malas mendekatinya. Lagi-lagi kupendam juga rasa itu.

Bertahun-tahun aku coba menyibukkan diri dengan bekerja. Hingga suatu ketika aku merasa kesepian, aku rindu belaian kasih sayang, aku tidak dapat hidup sendiri. Bersama teman-teman gaulku yang semuanya laki-laki itulah, aku menemukan ketenangan, rasa aman dan kedamaian. Tapi aku tidak menceritakan masalah ini pada mereka. Karena jika aku menceritakan tentang hal ini sudah pasti aku akan diejek habis-habisan, ditertawakan, bahkan sudah pasti aku akan dicap sebagai gay.

Masalahku menjadi lebih rumit lagi ketika aku berkenalan dengan seseorang yang bernama Hasan.

Sore itu gerimis rintik-rintik. Aku sedang duduk seorang diri di halte bus. Kebetulan karena penyakit migrainku kambuh, jadi aku minta izin pada atasan untuk pulang lebih siang, jam 15.00. Tiba-tiba di halte tempatku duduk, berhenti sebuah sepeda motor biru metalik. Si pengendara turun dan kemudian mengambil jas hujan dari balik jok motornya. Aku memperhatikan orang itu. Rupanya jok motor dan sebagaian lengannya sudah separuh basah kena air hujan. Ia terlihat kesulitan menghalau butiran-butiran bening air yang membasahi kacamatanya. Orang itu mengelap kacamata dengan bajunya. Aku segera bangkit dari duduk, kusodorkan sebungkus tissu kepadanya. Singkat cerita, akhirnya kami berkenalan. Dari situlah aku mengenal laki-laki yang bernama Hasan itu.

Dua hari kemudian, secara kebetulan kami betemu lagi di halte yang sama. Kali ini ia menawarkan dirinya untuk mengantar ke tempat kosku yang ternyata letaknya tidak jauh dari rumah Hasan. Di sepanjang perjalanan, ia banyak bercerita. Ia adalah ayah dari dua anak laki yang berusia 6 tahun dan 2 tahun. Dari ceritanya juga, akhirnya aku tahu bahwa ia adalah seorang aktivis partai politik. Setelah mengantar ke kos, ia memberikan kartu namanya dan mengundang diriku untuk main ke rumahnya.

Seminggu kemudian, aku bertandang ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya, istrinya dan anak-anaknya. Hari-hari berikutnya, setiap ada acara-acara di rumah Hasan, aku selalu diundang. Bahkan, keluarga Hasan sudah menganggap diriku seperti keluarganya. Anaknya yang sulung pun memanggilku dengan sebutan Pak De.

Aku semakin dekat dengan Hasan. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Karena kedekatanku dengan Hasan sudah teramat akrab, akhirnya kuberanikan diri mengatakan keadaan diriku yang sebenarnya. Anehnya, Hasan sama sekali tidak kaget, ia malah menanggapinya santai. Ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama kepadaku. Justru saat itu, akulah yang dibuatnya kaget luar biasa.

Hasan akhirnya bercerita padaku bahwa ia menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya, sebenarnya ia tidak mencintai istrinya. Ia takut dan malu mengungkapkan pada ayah dan ibunya bahwa ia adalah Gay. Kehidupan rumah tangga yang sedang dijalaninya saat ini, tidak lebih dari sekedar sandiwara yang telah dilakoninya selama lima tahun. Hasan tidak tega menceritakan masalahnya pada istrinya terlebih lagi pada anak-anaknya yang tentu belum mengerti.

“Astaga !”……batinku dalam hati. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang jelas, saat ini aku semakin dekat dengan keluarga Hasan. Bahkan aku sering diundang untuk menginap di rumahnya sambil mengajari putranya Hasan pelajaran-pelajaran SD.

Saat ini aku berada dalam dilema besar. Apakah aku harus menjalani hidupku seperti yang sekarang ini atau aku harus melepaskan dunia abu-abu yang membuatku semakin jauh dariNya.
Ya Allah, tolonglah aku, aku tidak berdaya, aku lemah………

Pedagang Yang Istiqomah

Kemarin aku ke kampus, setelah kurang lebih 10 tahun yang lalu aku menyelesaikan studi diplomaku di lembaga pendidikan itu. Tak sengaja aku bertemu dengan seorang Bapak, usianya sekitar 55 tahun. Ia berjualan snack keliling dari satu gedung ke gedung yang lain. Snack yang dijualnya bermacam-macam, ada cheese stick, keripik bawang, emping goreng manis, kacang, dan lain sebagainya. Bagiku, wajahnya sudah tidak asing lagi. Karena dahulu ketika aku masih kuliah pun ia sudah berjualan makanan yang sama, berkeliling pula.

Aku jadi teringat masa-masa pertama kalinya aku menjejakkan kaki di kampus. Bapak pedagang itu adalah orang pertama yang aku tanya tentang gedung Q, tempat dimana aku mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru. Ia menunjukkan gedung Q itu, sambil mengantarku pula. Kata-katanya santun. Setiap menawarkan dagangannya ia selalu ramah dan tak pernah lepas dari senyum. Meski tak sedikit mahasiswa yang menolak untuk membeli snack darinya.

“Assalamu’alikum mbak, apa kabar?” sapanya padaku ramah. Aku yang sejak tadi sibuk merapikan berkas-berkas legalisir ijazah, agak sedikit kaget dibuatnya. Karena tiba-tiba ia sudah duduk di sampingku di taman depan Gedung Serba Guna.
“Oh Bapak, Ehm…kabar saya baik, Alhamdulillah...
Bapak masih jualan di sini?” balasku bertanya.
“Alhamdulillah, Allah masih memberi kesehatan, saya masih diberi kesempatan mencari rezeki di sini. Yah, untungnya nggak seberapa, tapi saya senang karena dekat dengan rumah. Jadi saya bisa pulang sewaktu-waktu tiap waktu shalat untuk shalat berjamaah.” ucapnya.

Aku tersenyum mendengarnya. Dalam hatiku merasa bangga, karena meskipun ia seorang pedagang kecil, namun keikhlasan dan keistiqomahannya untuk menjaga shalat tepat waktu sangat tinggi sekali. Jarang kutemui orang-orang seperti ini, batinku dalam hati.

“Mengapa Bapak tidak berjualan menetap saja di rumah? Bapak kan bisa sekalian mengawas`i anak-anak dan tidak perlu repot berkeliling?” tanyaku padanya.
“Mbak, anak-anak Bapak semakin besar, kebutuhan mereka juga semakin bertambah. Bapak tidak mau menunggu rezeki di satu tempat, Bapak ingin mencari rezeki, siapa tahu dengan berkeliling ini, Allah memberikan rezeki yang sedikit berlebih kepada Bapak. Bapak juga tidak tahu dimana Allah akan menurunkan rezekinya kepada Bapak. Mudah-mudahan langkah-langkah kaki ini dihitung Allah sebagai amal ibadah usaha Bapak menghidupi keluarga.”

Subhanallah, …….aku takjub mendengarnya. Tak kusangka, pedagang snack itu begitu paham apa arti mencari rezeki sesungguhnya, keistiqomahan dan keberkahan usaha.
Tidak hanya setahun dua tahun ia menekuni profesinya itu. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun ia berdagang dengan caranya yang seperti itu.

“Mbak, bapak permisi dulu yah, sepertinya di gedung H sana, ada mahasiswa yang baru selesai kuliah. Bapak mau jualan kesana, Assalamu’alaikum!” ucapnya menyudahi pembicaraan.

“Wa ’alaykum Salam Warahmatullahi Wa Barakatuh, mari-mari pak, silakan…!” ucapku spontan. Karena tadi aku sempat termenung sebentar memikirkan usaha dan kerja keras pedagang itu.

Bapak itu lalu pergi ke arah Gedung H, gedung jurusan Administrasi Niaga, tempat dimana dahulu aku juga pernah duduk di dalamnya untuk menimba ilmu selama tiga tahun.
Dari kejauhan aku memperhatikannya. Alhamdulillah, ternyata tidak sedikit mahasiswa yang membeli snack darinya.
Ya Allah, berilah kekuatan dan ketabahan kepadanya dalam menjalani hidup. Mudahkanlah ia dalam mencari rezeki dan berilah keberkahan dalam usahanya” doaku dalam hati, mengiringi langkah pedagang itu yang akan berkeliling lagi ke gedung-gedung yang lain di kampusku.

Tetaplah Menjadi Pribadi Yang Bersahaja

Aku mengenal laki-laki itu sejak tiga tahun lalu. Saat pertama kalinya menjejakkan langkah di sudut lantai empat kantor ini. Laki-laki itu kulitnya sawo matang agak kecoklatan. Postur tubuhnya ideal, dengan perawakan badan yang kuat dan tegap, menandakan ia seseorang yang gemar berolahraga. Gerak geriknya gesit dan selalu ringan tangan. Usianya hampir menjelang 30 tahun meski rambutnya nyaris telah berkurang sedikit. Mungkin karena kebiasaan banyak berpikir keras dalam bidang keilmuannya. Dari catatan struktur organisasi kantorku, sejak lima tahun ini karirnya terus menanjak, sedangkan banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam lima tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh bigboss kami dan kemudian menjadi tangan kanannya.

Bagiku, laki-laki yang kukenal itu adalah seseorang dengan kepribadian yang unik. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat negara hingga office boy kantor kami- tanpa harus kehilangan wibawa.
Makan gorengan dari kantong plastik yang sama dengan anak buahnya menjadi hal biasa dalam kesehariannya. Tak pernah menjadi masalah baginya untuk minta ijin mengambil makanan yang dibawa oleh anak buahnya di meja. ”Minta kuenya ya!”, atau minta gorengannya ya!” sambil kemudian mencomotnya. Tidak masalah pula bagi diri laki-laki itu ketika para staf meminta dibelikan pisang coklat, pizza atau makanan lainnya. Beberapa lembar rupiah pun dengan ringan keluar dari koceknya.


Laki-laki itu, tidak memiliki ruang kerja. Ia bekerja satu ruangan dengan kami, para stafnya. Meja kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah meja, kursi, bahkan komputernya adalah sesuatu hal istimewa yang tak boleh dijamah oleh siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan dan jenjang yang jauh darinya sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan.

Dari cerita rekan-rekan kerjaku yang telah enam tahun bersamanya, sedikit akan kuceritakan mengenai keluarganya. Ia adalah sulung dari dua bersaudara. Kedua orang tuanya telah dipanggil Sang Khalik sejak ia masih di bangku SMP. Semenjak itu ia tinggal bersama paman dan bibinya. Kenyataan hidup itulah yang membentuk dirinya menjadi seorang pekerja keras, ulet, sederhana dan ringan tangan membantu orang lain. Kebiasaannya menimba air dari sumur serta membantu pekerjaan paman dan bibinya telah menjadi olahraga rutin setiap paginya, hingga tubuhnya menjadi kekar.

Berbincang dan bercanda dengan laki-laki itu bukan sekali dua kali saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya, saat ia belum menjadi atasanku, hingga saat ini ia telah menjadi pimpinan utama di lembaga kami. Bicaranya selalu penuh pemikiran, analisisnya tajam dan selalu tampak smart. Meskipun demkian ia juga pernah merasa bosan, jenuh dan menceritakan semua itu pada kami para staf kerjanya.

Awal tahun ini ia dilantik menjadi pimpinan tertinggi di lembaga tempatku bekerja. Syukur dan selamat tak lupa terlantun dari bibir ini. Setelah hampir enam bulan ini ia memimpin kantor, sifat kebersahajaannya masih tetap seperti dahulu. Masih makan gorengan dengan para staf dari bungkus yang sama. Masih sering bercanda dan curhat bersama rekan-rekan kerja.
Tentu saja, dengan jabatanmu yang sekarang, yang lebih utama adalah perkembangan kinerja kantor kita. Dan untuk kemajuan itu, pastilah engkau akan semakin sibuk dan sulit untuk membuang waktu. Tapi, kalau boleh kuminta satu hal saja: Tetaplah Engkau bersahaja seperti biasa! Kami membutuhkan pemimpin seperti itu.

Sebuah Pilihan Hidup

Kelahiran dan kematian adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Begitu juga halnya dengan jodoh manusia. Setiap orang tidak akan dapat mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Namun demikian, bukan berarti manusia harus berpangku tangan menunggu datangnya jodoh tanpa harus berikhtiar dan berdoa. Proses ikhtiar untuk mendapatkan pendamping hidup yang baik, dalam Islam, dinamakan ta’aruf. Yakni proses mengenal lebih jauh calon pasangan hidup agar tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akhir dari proses ta’aruf inilah yang kemudian dinamakan pernikahan.

Setiap manusia bebas menentukan hidupnya, termasuk pilihan untuk menikah atau tidak menikah. Namun, kita sebagai umat Rasulullah harus mengikuti sunnahnya untuk menikah. Karena menikah akan dapat menyempurnakan agama, membuka pintu rezeki dan menjadi ladang amal bagi yang melakukannya.

"Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !
"(HR.Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).


"Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.
" (HR. Baihaqi).
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.
" (QS. An Nuur (24) : 32).

Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).


Saat ini banyak orang yang sebenarnya sudah mampu untuk menikah, namun masih menundanya dengan alasan belum bekerja, belum lulus, belum cocok dan belum mantap.

Banyak orang yang kalau ditanyakan kepada mereka tentang pernikahan, jawabannya adalah, "Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun kerja belum mapan, belum cukup siap untuk berumah tangga¨, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Yah…mudah-mudahan, paling tidak mereka bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.

Mengambil keputusan untuk menikah memang bukan perkara mudah, apalagi bagi kaum hawa. Ia harus rela dan ikhlas dirinya dipimpin oleh orang lain, yang mungkin baru dikenalnya beberapa waktu. Bagi beberapa wanita karier tertentu, menikah bahkan menjadi momok yang mengerikan. Mereka takut kariernya terhambat dan takut untuk meninggalkan aktivitasnya karena harus mengurus rumah tangga.

Menikah memang sebuah pilihan hidup, yang secara pasti akan menimbulkan beberapa resiko. Ketika menikah, seseorang harus benar-benar ikhlas dan rela berkorban bagi keluarganya. Seorang perempuan yang menikah dalam usia belia dan harus mengurus rumah tangganya sambil tetap melanjutkan studinya, tidaklah kurang pahalanya dibandingkan dengan wanita bekerja yang menikah. Mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan optimal adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai tinggi di mata Allah.

Ketika seorang perempuan yang berpendidikan tinggi, kemudian setelah menikah harus menjalani pilihan sebagai ibu rumah tangga, tidak akan berkurang kemuliaannya. Bahkan, ilmu yang didapat dari pendidikan tinggi itu akan menjadi bekal dan acuan untuk mendidik anak-anak, mengatur rumah tangga dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Dengan hadirnya seorang perempuan yang menjalani peran sebagai ibu rumah tangga secara total, maka pekerjaan dan tugas-tugas rumah akan dapat tertangani serta anak-anak bisa dididik dan diawasi secara optimal. Lagipula, ajaran Islam sendiri tidak menuntut seorang perempuan harus bekerja. Tugas mencari nafkah telah diwajibkan oleh Alah kepada para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarganya.

Namun, jaman sudah berubah. Kenyataan yang ada malah sebaliknya. Banyak para suami istri, kedua-duanya sibuk bekerja, sehingga anak menjadi terabaikan dan hanya kenal dekat dengan pengasuhnya saja. Bahkan yang membuat getir adalah makin banyaknya para istri yang bekerja di luar sedangkan suami mengurus rumah tangga di rumah.

Entahlah, …apakah memang makin banyaknya tuntutan kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi atau mungkin kehendak kaum hawa yang ingin bekerja dan mengabdikan ilmunya pada masyarakat.
Atau….mungkin saja masih adanya rasa kurang “nrimo” dan keikhlasan hati dari para istri atas pendapatan suaminya.

Semua itu adalah pilihan hidup yang harus dijalani secara rela dan ikhlas hati.

Trik-trik Syetan, Jin dan Iblis

Dalam suatu Konferensi syaitan mengatakan, “Kita tidak dapat melarang kaum muslim ke Mesjid, Kita tidak dapat melarang mereka membaca Al-Qur'an dan mencari kebenaran, bahkan kita tidak dapat melarang mereka mendekatkan diri dengan Tuhan mereka Allah dan Pembawa risalahNya Muhammad. Pada saat mereka melakukan hubungan dengan Allah, maka kekuatan kita akan lumpuh.” Ujar syaitan.

"Oleh sebab itu, biarkanlah mereka pergi ke Masjid, biarkan mereka tetap melakukan kesukaan mereka, tetapi, CURI WAKTU MEREKA!!!, sehingga mereka tidak lagi punya waktu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah"."Inilah yang akan kita lakukan," kata iblis. "Alihkan perhatian mereka dari usaha meningkatkan kedekatannya kepada Allah dan awasi terus kegiatannya sepanjang hari!".

"Bagaimana kami melakukannya?" tanya para hadirin yaitu iblis, syaitan, dan jin. Sibukkan mereka dengan hal-hal yang tidak penting dalam kehidupan mereka, dan ciptakan tipudaya untuk menyibukkan pikiran mereka." jawab sang iblis. "Rayu mereka agar suka BELANJA, BELANJA DAN BELANJA serta BERHUTANG, BERHUTANG dan BERHUTANG.
"Bujuk para istri untuk bekerja di luar rumah sepanjang hari dan para suami bekerja 6 sampai 7 hari dalam seminggu, 10 hingga 12 jam seminggu, sehingga mereka merasa bahwa hidup ini sangat kosong. Jangan biarkan mereka menghabiskan waktu bersama anak-anak dan keluarga mereka."


"Jika keluarga mereka mulai tidak harmonis, maka mereka akan merasa bahwa rumah bukanlah tempat mereka melepaskan lelah sepulang dari bekerja". “Dorong terus cara berpikir seperti itu sehingga mereka tidak merasa ada ketenangan di rumah.”
“Pikat mereka untuk membunyikan radio atau kaset selama mereka berkendaraan. Dorong mereka untuk menyetel TV, VCD, CD dan PC di rumah sepanjang hari. Bunyikan musik terus menerus di semua restoran maupun toko2 di dunia.” ujar syaitan sang ketua konferensi.
“Hal ini akan mempengaruhi pikiran mereka dan merusak hubungan mereka dengan Allah dan RasulNya.”

“Penuhi meja-meja rumah mereka dengan majalah-majalah dan tabloid. Cekoki mereka dengan berbagai berita dan gosip selama 24 jam sehari. Jangan lupa serang mereka dengan berbagai iklan-iklan di jalanan. Banjiri kotak surat mereka dengan informasi tak berguna, katalog-katalog, undian-undian, tawaran-tawaran dari berbagai macam iklan.”
“Muat gambaran wanita yang cantik itu adalah yang langsing dan berkulit mulus di majalah dan TV, untuk menggiring para suami berpikir bahwa PENAMPILAN itu menjadi unsur terpenting, sehingga membuat para suami tidak tertarik lagi pada istri-istri mereka. Buatlah para istri menjadi sangat letih pada malam hari, buatlah mereka sering sakit kepala.”
“Dan jika para istri tidak memberikan cinta yang diinginkan suami, maka sang suami akan mulai mencari di luaran. "Hal inilah yang akan mempercepat retaknya sebuah keluarga.”

"Terbitkan buku-buku cerita untuk mengalihkan kesempatan mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka akan makna shalat."
"Sibukkan mereka sehingga tidak lagi punya waktu untuk mengkaji bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Arahkan mereka ke tempat-tempat hiburan, fitness, pertandingan-pertandingan, konser musik dan bioskop."
"Buatlah mereka menjadi SIBUK, SIBUK DAN SIBUK. Perhatikan, jika mereka bertemu dengan orang shaleh, bisikkan gosip-gosip dan percakapan tidak berarti, sehingga percakapan mereka tidak berdampak apa-apa."


"Isi kehidupan mereka dengan keindahan-keindahan semu yang akan membuat mereka tidak punya waktu untuk mengkaji kebesaran Allah. Dan dengan segera mereka akan merasa bahwa keberhasilan, kebaikan serta kesehatan keluarga adalah merupakan hasil usahanya yang kuat (bukan atas izin Allah)."PASTI BERHASIL, PASTI BERHASIL. RENCANA YANG BAGUS." Ujar mereka bersamaan. Iblis, syaitan dan jin kemudian membubarkan diri dan pergi dengan penuh semangat untuk melakukan tugas yakni: MEMBUAT MUSLIMIN DAN MUSLIMAT MENJADI LEBIH SIBUK, LEBIH KALANG KABUT, DAN SENANG HURA-HURA. "Dan hanya menyisakan sedikit saja waktu buat Allah sang Pencipta."
"Tidak lagi punya waktu untuk bersilaturahmi dan saling mengingatkan akan Allah dan RasulNya".

Sekarang pertanyaan saya adalah, "APAKAH RENCANA SYAITAN, JIN DAN IBLIS INI AKAN BERHASIL"???
"ANDALAH YANG MENENTUKAN..!!!"

Friday, August 04, 2006

Mukadimah

Sebagai pembukaan atau biasa disebut dengan Mukadimah, akan saya mulai dengan pembacaan A'udzubillahhiminassyaitoni Rojiim Bismillahi Rahmaanni Rahiim.....